BAB I
Pendahuluan
1.1.
Latar
Belakang
Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari
pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom
oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.
Implementasi
otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat untuk
mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kedua UU otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25
Tahun 1999 sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.
Sejalan
dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan
penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab.
Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki
penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai
untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan
demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri,
sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan
daerahnya masing-masing.
Memang
harapan dan kenyataan tidak lah akan selalu sejalan. Tujuan atau harapan tentu
akan berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan juga
berjalan baik. Namun ketidaktercapaian harapan itu nampak nya mulai terlihat
dalam otonomi daerah yang ada di Indonesia. Masih banyak permasalahan yang
mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan
itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah
dapat tercapai.
1.2.
Rumusan Masalah
Dalam penyusunan ini
penulisan memberikan batasan-batasan masalah, meliputi :
1.
Undang undang otonomi daerah
2.
Perubahan penerimaan daerah dan peranan
pendapatan asli daerah
3.
Pembangunan Ekonomi Regional
4.
Faktor-faktor Penyebab ketimpangan
5.
Pembangunan Indonesia BagianTimur
6.
Teori dan analisis Pembangunan ekonomi
daerah
1.3.
Tujuan
Penelitian
Diharapkan
mahasiswa mengetahui maksud dan tujuan pelaksanaan Otonomi Daerah, serta Undang
Undang yang terkait dengan Otonomi Daerah.
1.4.
Metode
Penelitian
Menggunakan
fasilitas Internet dengan mencari hal-hal yang terkait dengan bahan Penulisan.
BAB II
OTONOMI DAERAH
2.1.
Undang Undang Otonomi Daerah
2.1.1.
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Secara harfiah,
otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani,
otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos
berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan
untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah
tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah.
Pelaksanaan
otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum,
juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang
harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas,
lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan
menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.
2.1.2.
Dasar Hukum Otonomi Daerah
·
Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan
Daerah dalam Kerangka NKRI.
·
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000
tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
·
UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
·
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Terdapat dua
nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
·
Nilai
Unitaris,
yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan
pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"),
yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik
Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
·
Nilai
dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18
Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas
maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik
desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan
dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia
berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan
sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut.
2.1.3.
Pelaksanaan Otonomi Daerah
UU otonomi daerah itu sendiri
merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata
negara Indonesia dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”.
Selanjutnya
Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur
mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan
tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah di
Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi pembentukan peraturan
lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang menurut hirarki atau tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Otonomi daerah
di Indonesia dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada
tahun 1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal
pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah
diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap struktur dan tata
laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
Perubahan
UU Otonomi Daerah
Pada tahap
selanjutnya UU otonomi daerah ini mendapatkan kritik dan masukan untuk lebih
disempurnakan lagi. Ada banyak kritik dan masukan yang disampaikan sehingga
dilakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang otonomi daerah. Dengan terjadinya judicial review maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah diubah dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah ini juga diikuti pula dengan perubahan
peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai otonomi daerah yang
berfungsi sebagai pelengkap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya digantikan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sesungguhnya
UU
otonomi daerah telah mengalami beberapa kali perubahan
setelah disahkannya UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun perubahan tersebut meskipun penting
namun tidak bersifat substansial dan tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap
tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah karena hanya berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sejak
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah disahkan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomo 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2977).
Selanjutnya
dilakukan lagi perubahan melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
2.2.
Perubahan Penerimaan Daerah dan
Peranan
Pendapatan Asli Daerah
Secara sederhana, perubahan APBD dapat diartikan sebagai upaya pemerintah
daerah untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan perkembangan yang terjadi.
Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan
maupun pengeluaran, atau sebaliknya. Namun, bisa juga untuk mengakomodasi
pergeseran-pergeseran dalam satu SKPD.
Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar
belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran
pendapatan dan perubahan anggaran belanja. Begitu juga untuk alasan perubahan
atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan berupa SiLPA
(Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi salah satu
alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.
2.2.1.
Perubahan atas
Pendapatan
Terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat
keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan
APBD juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD).
Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan
karena beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber
penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b) perubahan kebijakan tentang
pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian target berdasarkan perkembangan
terkini.
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa
perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
·
Target
pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika
sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka
itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud
merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk
dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah.
·
Alasan penentuan
target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang
dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan
adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan
rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang
untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan
informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.
·
Jika dalam
APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam
APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan
pengeluaran yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target
PAD ini dapat diartikan sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja
modal dalam mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai
dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.
2.2.2.
Perubahan atas
Alokasi Anggaran Belanja
Merupakan bagian
terpenting dalam perubahan, khususnya pada kelompok belanja langsung. Beberapa
bentuk perubahan alokasi untuk belanja modal berrdasarkan penyebabnya adalah:
Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus dilakukan apabila
prediksi atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya perbedaan antara
SILPA 201a definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA 201b.
Perubahan karena adanya pergeseran anggaran (virement).
Pergeseran anggaran dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk
SKPD yang bersangkutan tidak berubah.
Perubahan karena adanya perubahan dalam penerimaan,
khususnya pendapatan. Perubahan target atas pendapatan asli daerah (PAD) dapat
berpengaruh terhadap alokasi belanja perubahan pada tahun yang sama. Dari
perspektif agency theory, pada saat penyusunan APBD murni, eksekutif
(dan mungkin juga dengan sepengetahuan dan/atau persetujuan legislatif) target
PAD ditetapkan di bawah potensi, lalu dilakukan “adjustment” pada
saat dilakukan perubahan APBD.
2.2.3.
Perubahan dalam Pembiayaan
terjadi ketika asumsi yang ditetapkan pada saat penyusunan APBD harus
direvisi. Ketika besaran realisasi surplus/defisi dalam APBD berjalan berbeda
dengan anggaran ayng ditetapkan sejak awal tahun anggaran, maka diperlukan
penyesuaian dalam anggaran penerimaan pembiayaan, setidaknya untuk mengkoreksi
penerimaan yang bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya
(SiLPA).
SiLPA tahun berjalan merupakan SILPA (Sisa Lebih
Pembiayaan) tahun lalu. Oleh karena itu, SiLPA merupakan penerimaan pada awal tahun
berjalan. Namun, besaran yang diakui pada saat penyusunan APBD masih bersifat
taksiran, belum definitif, karena (a)
pada akhir tahun lalu tersebut belum seluruh pertanggungjawaban disampaikan
oleh SKPD ke BUD dan (b) BPK RI
belum menyatakan bahwa jumlah SiLPA sudah sesuai dengan yang sesungguhnya.
Selisih (variance) antara SiLPA dalam APBD
tahun berjalan dengan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tahun sebelumnya
merupakan angka yang menjadi salah satu bahan untuk perubahan anggaran dalam
tahun berjalan, terutama dalam bentuk penyesuaian untuk belanja. Jika
diterapkan konsep anggaran berimbang (penerimaan sama dengan pengeluaran atau
SILPA bernilai nol atau nihil), maka varian SiLPA akan menyebabkan perubahan
alokasi belanja.
2.2.4.
Pergeseran
Anggaran
Peruahan anggaran sejatinya akan mengubah posisi, proporsi, dan komposisi
rekening-rekening dalam APBD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, ada
beberapa aturan tertulis yang harus dipahami, yakni :
1.
PERMENDAGRI
13/2006
BAB VIII
PERUBAHAN APBD
Bagian Pertama
Dasar Perubahan APBD
Pasal 154
1) Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi:
§ Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
§ Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran
anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun
sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan;
Keadaan darurat; dan
Keadaan luar biasa.
Bagian Ketiga
Pergeseran Anggaran
Pasal 160
1) Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan,
dan antar jenis belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) huruf b
serta pergeseran antar obyek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian
obyek belanja diformulasikan dalam DPPA-SKPD.
2) Pergeseran antar rincian obyek belanja dalam obyek
belanja berkenaan dapat dilakukan atas persetujuan PPKD.
3) Pergeseran antar obyek belanja dalam jenis belanja
berkenaan dilakukan atas persetujuan sekretaris daerah.
4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) dilakukan dengan cara mengubah peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD sebagai dasar pelaksanaan, untuk selanjutnya dianggarkan dalam
rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD.
5) Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar
kegiatan, dan antar jenis belanja dapat dilakukan dengan cara merubah peraturan
daerah tentang APBD.
6) Anggaran yang mengalami perubahan baik berupa
penambahan dan/atau pengurangan akibat pergeseran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus dijelaskan dalam kolom keterangan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran perubahan APBD.
7) Tata cara pergeseran sebagaimana dimaksud ayat (2) dan
ayat (3) diatur dalam peraturan kepala daerah.
2.
PP58/2005
Bagian Kedua
Perubahan APBD
Pasal 81
Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau
perubahan keadaan, dibahas bersama DPRD dengan pemerintah daerah dalam rangka
penyusunan prakiraan perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan,
apabila terjadi:
§ Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan
umum APBD;
§ Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran
anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
§ keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya
harus digunakan untuk tahun berjalan;
§ Keadaan darurat; dan
§ Keadaan luar biasa.
3.
UU32/2004
Paragraf Kedelapan
Perubahan APBD
Pasal 183
1) Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi:
§ Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan
umum APBD;
§ Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran
anggaran antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan
§ Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan
anggaran tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran
berjalan.
2) Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang
perubahan APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada
DPRD.
3) Pengambilan keputusan mengenai rancangan Perda tentang
perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh DPRD paling
lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pergeseran anggaran adalah
dasar dari perubahan APBD.
2.2.5.
Peranan Pendapatan Asli Daerah
APBD pada
pemerintahan daerah seperti halnya APBN dalam pemerintahan pusat, memiliki tiga
fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Fungsi APBN dan APBD menurut
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, yaitu sebagai berikut.
·
Fungsi Otorisasi
Fungsi
otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
·
Fungsi Perencanaan
Fungsi
perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah menjadi pedoman
bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
·
Fungsi Pengawasan
Fungsi
pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah menjadi pedoman
untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
·
Fungsi Alokasi
Fungsi
alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara dan daerah harus diarahkan untuk
mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan
efisiensi dan efektivitas perekonomian.
·
Fungsi Distribusi
Fungsi
distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara dan daerah harus
memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
2.3. Pembangunan Ekonomi Regional
2.3.1.
Kebijakan
Pembangunan Regional
Kebijakan pembangunan wilayah pada
dasarnya merupakan keputusan dan intervensi pemerintah, baik secara nasional
maupun regional untuk mendorong proses pembangunan daerah secara keseluruhan.
Analisis ini sangat penting artinya dalam rangka menerapkan teori dan konsep
yang di jelaskan terdahulu guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah,
meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan pada
wilayah yang masih terbelakanag. Semua ini diperlukan untuk dapat meningkatkan
proses pembangunan daerah sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
2.3.2.
Perlunya
Kebijakan Pembangunan Wilayah
Kebijakan Pembangunan merupakan
keputusan publik yang di perlukan di tingkat nasional maupun wilayah sehingga
dapat di wujudkan suatu kondisi sosial yang diharapkan akan dapat mendorong
proses pembangunan ke arah yang di inginkan masyarakat, baik pada saat sekarang
maupun untuk periode tertentu di masa yang akan datang. Sasaran Akhir dari
kebijakan pembangunan tersebut adalah untuk dapat mendorong dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial secara menyeluruh sesuai dengan
keinginan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
Kebijakan
pada tingkat wilayah diperlukan karena kondisi permasalahan dan potensi
pembangunan yang dimiliki suatu wilayah umumnya berbeda satu sama lainnya
sehingga kebijakan yang diperlukan tidak sama. Misalnya wilayah pantai yang
masyarakatnya umumnya para nelayan akan memerlukan kebijakan pembangunan yang
berbeda dengan masyarakat daerah dataran tinggi yang banyak begerak dalam usaha
perkebunan, ataupun daerah perkotaan yang banyak bergerak pada sektor
perdagangan jasa dan industri yang berbeda dengan daerah kabupaten yang
didominasi oleh sektor pertanian.
Kebijakan
pada tingkat nasional yang diberlakukan secara umum pada seluruh wilayah tidak
akan sesuai untuk memecahkan masalah pembangunan pada masing-masing daerah
karena setiap daerah memiliki kondisi daerah tersebut mempengaruhi kondisi
pembangunan. Oleh karena itu untuk memaksimalkan proses pembangunan daerah,
maka kebijakan pembangunan wilayah yang saling terkait perlu di tetapkan untuk
masing-masing daerah agar terdapat sinergi dalam proses pembangunan wilayah.
Urgensi dan
peranan kebijakan pembangunan wilayah berbeda pola pembangunan negara
bersangkutan bersifat sentralisasi dan otonomi (desentralisasi). Pada saat pola
pemerintahan dan pembangunan suatu negara bersifat sentralisasi, kebijakan
pembangunan regional tidak terlalu menentukan dan hanya merupakan penunjang
(sub-set) dari kebijakan pembangunan nasional sehingga aspirasi pembangunan
yang berkembang di masing-masing wilayah hanya dapat di terima dan di benarkan
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Permasalahan kemudian
muncul bilamana kondisi dan potensi daerah pada negara bersangkutan sangat
bervariasi, sehingga kebijakan yang cenderung seragam tidak dapat memecahkan
permasalahan daerah secara menyeluruh
Sedangkan
bila bersifat desentralisasi, maka urgensi dan peranan kebijakan pembangunan
wilayah menjadi lebih besar dan penting sehingga masing-masing daerah akan
dapat menetapkan kebijakan pembangunan berbeda sesuai dengan kondisi
permasalahan dan potensi daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, kebijakan
pembangunan nasional lebi banyak berfungsi sebagai untukmemberikan arah pembangunan
secara menyeluruh (makro) sedangkan kebijakan pembangunan wilayah (regional)
akan berfungsi untuk mendorong proses pembangunanpada daerah bersangkutan
sesuai dengan kondisi, permasalahan dan potensi.
2.3.3.
Sasaran
Kebijakan Wilayah
Menurut pandangan Winnick (1966) dan kemudiandi lanjutkan
oleh Richargson (1978) terdapat dua
alternatif sasaran kebijakan wilayah yaitu:
1. Kemakmuran
Wilayah
Bertujuan
untuk mewujudkan kondisi fisik daerah yang maju meliputi prasarana dan sarana,
perumahan dan lingkungan pemukiman, kegiatan ekonomi masyarakat, fasilitas
pelayanan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan, kualitas lingkungan hidup
dan lain-lainnya. Hal tersebut akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi daerah
akan meningkat cepat, kegiatan penanaman modal meningkat pesat, dan mendorong
peningkatan migrasi masuk dari daerah lain seiring bertambahnya lapangan kerja.
Namun
demikian, kemajuan ini biasanya akan di nikmati oleh para pendatang yang
kualitas sumber daya manusianya lebih baik dari penduduk setempat. Akibatnya
akan terjadi ketimpangan distribus pendapatan yang cukup tinggi antara para
pendatang dan dan penduduk setempat.
2. Kemakmuran
Masyarakat
Bilamana
kemakmuran masyarakat merupakan sasaran utama pembangunan daerah,maka tekanan
utama pembangunan akan lebih banyak diarahkan pada pembangunan penduduk
setempat. Program dan kegiatan lebih banyak di arahkan dalam meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kegiatan produksi masyarakat.
Bila upaya
pembangunan wilayah lebih banyak di arahkan pada peningkatan kemakmuran
masyarakat, maka laju pertumbuhan ekonomi dan peningkatan penyediaan lapangan
kerja pada daerah bersangkutan cenderung bertumbuh lambat di bandingkan
peningkatan kemakmuran wilayah. Hal ini di sebabkan, upaya pembangunan diarahkan
pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemberdayaan masyarakat yang
biasanya memerlukan waktu yang lebih lama.
2.3.4.
Penetepan
Wilayah Pembangunan
Penetapan Wilayah pembangunan ini
perlu di lakukan agar pemberlakuan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut
dapat ditentukan dengan jelas dan tegas dimana cakupan wilayahnya. Penetapan
wilayah pembangunan dapat dilakukan dengan memperhatikan empat aspek utama
yaitu :
·
Kesamaan Kondisi, permasalahan dan potensi umum daerah
baik di bidang ekonomi, sosial, dan geografi. Bila aspek ini di jadikan sebagai
pertimbangan utama dalam pembentukan wilayah.
·
Keterkaitan yang erat antara daerah-daerah yang
tergabung dalam wilayah pembangunan bersangkutan. Keterkaitam ini dapat
diketahui melalui data tentang kegiatan dagang antar daerah dan mobilitas
penduduk (migration) antar daerah. Bila aspek ini dijadikan sebagai dasar utama
pembentukan wilayah pembangunan tersebut, maka wilayah in dinamakan nodal
region. Aspek ketrkaitan ini sangat penting artinya untuk kebijakan pembangunan
wilayah yang ditetrapkan dapat mendorong terjadinya keterpaduan dan sinergi
pembangunan antar daerah dalam wilayah yang bersangkutan.
·
Kesamaan karakteristik geografis antar daerah yang
tergabung dalam wilayah pembangunan tersebut. Karateristik geografis tersebut
meliputi jenis daerah (pantai, pegunungan atau daerah aliran sungai), kesuburan
dan kesesuaian lahan, dan potensi sumberdaya alam. Bila aspek ini dijadikan
sebagai sumber aspek utama penetapan wilayah pembangunan maka wilayah tersebut
dapat dinamakan sebagai wilayah fungsional. Aspek ini sangat penting dalam
penetuan wilayah pembangunan.
·
Kesatuan wilayah administrasi pemerintahan antara
propinsi, kabupaten dan kota yang tergabung dalam wilayah pembangunan
bersangkutan. Bila pertimbngan merupakan unsur utama yang melandasi pembentukan
wilayah pembangunan tersebut, mka wilayah ini dinamakan sebagai wilayah
perencanaan (planniang region).
2.3.5.
Bentuk
Kebijakan Pembangunan
Wilayah
A.
Kebijakan
Fiskal Wilayah
Wilayah Kebijakan fiskal pada tingkat
wilayah (region fiscal policy) dapat dilakukan dalam bidang pengaturan dan
pengendalian penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah. Alasanya adalah jelas
karena penerimaan dan belanja daerah akan langsung mempengaruhi kinerja
pembangunan daerah tersebut. Pendapatan daerah dapat berbentuk PAD yang
diperoleh dari pajak dan retribusi daerah berikut hasil bersih perusaan daerah,
serta alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat. Sedangkan belanja daerah
dapat berbentuk biaya aparatur, belanja publik dan belanja modal sebagaimana
terlihat dalam anggaran APBD daerah bersangkutan.
Termasuk
juga dalam belanja daerah ini adalah penggunaan dana dekonsentrasi dan dana
pembantuan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kemasing-masing daerah
melalui dinas dan instansi vertikal didaerah. Kebijakan fiskal wilayah
menyangkut dengan pengeluaran yang dapat dilakukan dalam rangka mendorong
proses pembangunan daerah dalam bentuk peningkatan proporsi dana APBD yang
dialokasikan untuk belanja publik dan belanja modal. Kebijakan wilayah fiskal
menyangkut dengan aspek belanja yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah
adalah dalam bentuk peningkatan keterkaitan antara perencanaan dan anggaran.
Dengan cara demikian pengalokasian dana dan dan belanja pembangunan akan dapat
disesuaikan dengan prioritas yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan
daerah. Kebijakan wilayah fiskal juga dapat dilakukan melalui kebijakan
nasional dengan menggunakan dana alokasi khusus. Peranan ini dapat dilakukan
melaui penentuan arah dan prioritasnya penggunakan DAK tersebut sesuai dengan
kepentingan nasional. Biasanya prioritas penggunaan DAK diberikan pada
kegiaan-kegiatan penanggulangan kemiskinan, pembangunan prasarana jalan yang
tidak mampu dibiayai oleh APBD dan peningkatan kualitas hidup. Disamping itu,
alokasi DAK juga diprioritaskan untuk peningkatan proses pembangunan pada
daerah sedang berkembang dalam rangka mengurangi ketimpangan pembangunan.
B.
Kebijakan
Moneter Wilayah
Kebijakan moneter ini lebih terbatas
dari pada kebijakan fiskal. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya bersifat
makro sehingga sulit untuk dibatasi pelaksanaannya pada wilayah tertentu. Namun
demikian, masih terdapat beberapa kemungkinan pelaksanaanya kebijakan moneter
wilayah untuk aspek tertentu, misalnya menyangkut dengan kebijakan pemberian
kredit perbankan yang dibedakan untuk daerah-daerah yang sudah maju (developed
regions) dengan daerah yang sedang berkembang (developing regions) Kebijakan
pemberian kredit perbankan untuk daerah sedang berkembang dapat diberikan dalam
bentuk prosedur dan jaminan yang lebih sederhana sehingga para pengusaha di
daerah tesebut dapat memanfaatkan fasilitas kredit tersebut. Begitu juga
keringanan modal ventura juga dapat juga digulirkan untuk menarik minat
investor. Namun demikian kantor bank indonesia daerah setempat perlu selalu
mengawasi agar fasilitas perbankan tersebut secara benar-benar digunakan dengan
benar. Kebijakan moneter wilayah lainnya yang juga dapat dilakukan dalam bentuk
pengembangan lembaga-lembaga non bank sebagai alternatif untuk penyediaan
pembiayaan bagi pengembangan usaha ekonomi masyarakat.
2.3.6.
Evaluasi
Pelaksanaan Kebijakan Wilayah
Evaluasi pelaksanaan perlu dilakukan
untuk dapat mengetahui seberapa jauh kebijakan yang telah dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dapat memberikan dampak positif sesuai dengan tujuan yang
telah tetapkan semula. Disanping itu, melalui evaluasi ini dapat diketahui faktor-faktor
yang menyebabkan keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan kebijakan regional
tersebut. Sehingga dapat dirumuskan kebijakan tertentu yang perlu dilakukan
dimasa mendatang. Evaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut dapat dilakukan
secara komprehensif maupun secara parsial.
A.
Evaluasi
Komprehensif
Evaluasi komprehensif paling
sederhana yang dapat dilakukan dalam melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan
pembangunan regional adalah dengan jalan membandingkan kondisi pembangunan
sesudah kebijakan dilakukan dengan sebelumnya. Dengan cara demikian, tentunya
kebijakan itu dapat dikatakan berhasil bila kinerja pembangunan dalam wilayah
cakupan setelah kebijakan ditetapkan ternyata lebih baik dibandingkan dengan
kondisi sebelum kebijakan diambil dengan asumsi tidak terjadi perubahan yang
luar biasa dalam periode pelaksanaan kebijakan. Bilamana kebijakan tersebut
merupakan bagian dari suatu perencanaan pembangunan regional, maka evaluasi
keberhasilan pelaksaan kebijakan dapat dilakukan dengan dengan membandingkan
realisasi kenerja pembangunan setelah kebijakan diterapkan dengan target
pembangunan yang ditetapkan dalam rencana.
Namun
demikian, cara penilaian keberhasilan pelaksanaa kebijakan pembangunan regional
sebagaimana telah diuraikan diatas mempunyai kelemahan karena sistem tersebut
tidak dapat memisahkan dampak yang juga dihasilkan oleh kebijakan yang bersifat
nasional. Sebagaimana diketahui bahwa kemajuan pembangunan pada suatu daerah
tidak hanya disebabkan oleh kebijakan pembagunan yang dilakukan oleh daerah
bersangkutan saja, tetapi juga terjadi karena kebijakan pembangunan yang
bersifat nasional dilakukan oleh pemerintah pusat. Karena itu untuk dapat
mengevaluasi pengaruh kebijaksanaan pembangunan wilayah secara lebih baik, maka
dampak pembangunan daerah sebagai hasil kebijakan nasional seharusnya
dikeluarkan sehingga perhitungan menjadi lebih baik. Untuk keperluan tersebut
maka, metode evaluasi dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
Langkah
pertama perlu diketahui lebih dahulu adalah menghitung besarnya dampak
pembangunan ekonomi atau tambahan penyediaan lapanghan kerja yang dapat dicapai
sebagai hasil kebijakan nasional tanpa adanya kebijakan regional sebagai
berikut:
n n Ni = Σ ni = Σ [eit (Eit/Eio)]
i=1 i=1
dimana eit adalah jumlah
tenaga kerja atau nilai tambah (PDRB) region i pada periode waktu t dan Eit
jumlah tenaga kerja atau nilai tambah tingkat nasional pada periode waktu t dan
Eio adalah nilai tambah tingkat nasional pada tahun dasar. Dengan demikian,
besarnya dampak dari kebijakan nasional terhadap pembangunan daerah akan dapat
diketahui dengan jalan mengalihkan jumlah tenaga kerja atau PDRB daerah
bersangkutan dengan peningkatan penyediaan lapangan kerja dan PDB pada tingkat
nasional.
Langkah
berikutnya yang perlu dilakukan adalah menghitung besarnya dampak yang
dihasilkan oleh kebijakan regional sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan
jalan mencari selisih antar jumlah penyediaan lapangan kerja atau PDRB daerah
bersangkutan pada periode tertentu dengan besarnya pengaruh dari kebijakn
nasional sebagaimana ditunjukan oleh persamaan diatas. Dengan demikian,
besarnya pengaruh dari kebijakan regional akan dapt diketahui melalui persamaan
berikut :
n n R= A-N = Σei – Σ ni i=1 i=1
Agar perhitungan menjadi lebih
tepat, maka hal yang perlu ditentukan secara khusus disini adalah periode
berlaku dan berakhirnya kebijakan nasional tersebut. Penilaian keberhasilan
pelaksaan kebijakan pembangunan regional dapt pula dilakukan melaui mobilitas
investasi yang masuk ke daerah bersangkutan. Hal ini dilakukan karena
keberhasilan kebijakn pembangunan suatu daerah tersebut dapt pula ditunjukan
oleh keberhasilan dalam menarik industri dan kegiatan ekonomi lannya dari luar
daerah maupun luar negeri untuk masuk kesuatu daerah. Bila jumlah investasi
yang masuk besarmaka unsur-unsur pembangunan daerah separti pertumbuhan
ekonomi, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat akan dapt
pula ditingkatkan. Berdasarkan pandangan tersebut, maka mobiltas industri dan
kegiatan ekonomi daerah dapat diukur dalam bentuk arus investasi sehingga dapat
ditulis sebagai berikut :
M= f (I)
Dimana M adalah mobilitas industri
sedang I investasi dalam RP atau dolar. Bila unsur kebijakan pembangunan daerah
(Rp) juga ikut dipertimbngkan maka fungsi mobolitas terdahulu akan dapat pula
dapat ditulis :
I= f (A,RP)
Dimana A melambangkan data tarik
daerah dan RP adalh kebijakan pembangunan regional yang dilakukan pada daerah
tersebut. Bila pengukuran dilakukan metode regresi maka persamaan diatas dapat
dirubah menjadi:
I =σ+ßA +δ (RP)+ε
Dimana σ, ß dan δ adalah koefisien
regresi dan ε adalah faktor kesalahan (distrubance terms). Menginagat RP adalah
fariabel kebijakan regional yang juga dapat diwakili oleh jumlah anggaran
daerah yang dialokasikan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, maka
keberhasilan kebijakan pembangunan regional dapat diukur dari besarnya
koefesien regresi δ yang seharusnya mempunyai nilai positif.
B.
Evaluasi
Parsial
Evaluasi
pelaksanaan kebijakan wilayah secara parsial dilakukan dengan melihat
keberhasilan pelaksanaan pembangunan pada tingkat program atau proyek
(kegiatan). Evaluasi ini dikatakan parsial karena hanya melihat kepada sebagian
dari kegiatan pembangunan daerah yang belum tenttu menggambarkan kondisi
pembangunan daerah secara keseluruhan. Karena itu, untuk mendapatkangambaran
menyeluruh dari keberhasilan pelaksanaan kebijakan pembangunan regional perlu
dilakukan penilaian terhadap sejumlah program dan proyek utama yang berskala
besar dan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pembangunan daerah
bersangkutan.
Karena penilaian dilakukan pada
tingkat program dan proyek, maka dalam hal ini terdapat tigajenis teknik
evaluasi yang digunakan, yaitu:
a.
Teknik
Evaluasi Kinerja
Teknik ini
menilai pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan berdasarkan lima kriteria,
yaitu masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome),manfaat (benefit) dan
dampak (impacts). Penilaian terhadap unsur masukan (input) terutama diarahakan
pada tingkat penggunaan dan penyerapan dana yang telah dapat dilakukan dalam
pelaksanaan kegiatan program dan kegiatan bersangkutan. Sedangkan
penilaianterhadap keluaran (output) diarahakan pada hasil langsung dari
kegiatan pelaksanaan program dan proyek, baik bersifat fisik maupunnonfisik.
Penilaian terhadap hasil (outcome) ditekankan pada hasil yang dapat diberikan
terhadap pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan
penilaian terhadap manfaat (benefit) adalah dalam bentuk kegunaan dari adanya
program dan kegiatan pembangunan. Penilaian terhadap dampak (impacts) adalah
dalam bentuk pengaruh yang dapat dihasilkan dgn adanya program dan kegiatan
tersebut terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat
b.
Analisis
Biaya dan Manfaat
Analisis biaya
dan manfaat yang digunakan pada dasarnya adalah sama dengan yang lazim dipakai
pada penilaian kelayakan. Perbedaannya adalah bahwa bahwa pada evaluasi ini,
data tentang biaya dan manfaat yang digunakan adalah data realisasi karena
program dan proyek sudah selesai digunakan sebelumnya. Dengan demikian,
pelaksanaan sebuah program atau proyek dapat dikatakan berhasil bilamana
kegiatan tersebut dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar dibandingkan
dengan biaya yang dikeluarkan.
Seandainya
adalah nilai investasi proyek yang dilakukan pada tahu t, adalah
biaya operasiaonal yang dikeluarkan dalam pengelolaan proyek untuk setiap
tahunnya dan Bt adalah manffast yang dapat dihasilkan dari pelaksanaan proyek,
maka evaluasi keberhasilan pelaksanaan suat kebijakan pembangunan regional
dapat dilakukan menggunakan kriteria berikut:
·
Benefit-Cost Ratio: [] : [)/(1+i], dan
kebijakan dikatakan berhasil jika B/C rasio lebih besar atau sama dengan 1
·
Net present Value (NPV): ] dan kebijakan dikatan
berhasil jika NPV>0
·
Internal rate of return (IRR) yaitu r pada saat NPV
sama 0 dan kebijakan dikatakan berhasil jika IRR>I, dimana I adalah tingkat
bunga deposito bank.
Dimana B
adalah manfaat (benefit), C adalah biaya (cost) i tingkat bunga (discount
rate), IRR ( intenal rate of return) dan t adalah waktu.
Kendala yang
sering dihadapi adalahseringkali program dan proyek yang berorientasi pada
kepentingan publik seperti pembangunan jalan, gedung sekolah, dan fasilitas
publik lainnya adalah bahwa perhitungan nilai manfaat yang dapat di peroleh
sering sering kali bersifat kualitatif dan abstrak karena menyangkut dengan
kepentingan sosial ekonomi. Untuk itu, metode evaluasi dapat di ubah menjadi
Cost Effectiveness dimana evaluasi tidak lagi didasarkan pada perbandingan
biaya dan manfaat, tetapi hanya pada perbandingan jumlah biaya yang diperlukan.
a.
Kerangka
Logis
Pada
kerangka logis ini, evaluasi dilakukan secara sederhana dengan menggunakan
sebuah matrik. Pada matrik ini dijelaskan latar belakang pelaksanaan kegiatan,
tujuan, deskriptsi program dan kegiatan, tolak ukur keberhasilan yang digunakan
dan manfaat yang diharapkan dari hasil pelaksanaan program dan kegiatan
tersebut. Dapat pula menggunakan Persentase atau hanya secara kualitatif saja
dengan memperhatikan kondisi yang berkembang di lapangan jika indikator dan
ukuran kuantitatif sulit di peroleh.
2.4.
Faktor-faktor penyebab
Ketimpangan
Berikut merupakan faktor-faktor penyebab Ketimpangan Pembangunan Ekonomi
Daerah :
2.4.1.
Konsentrasi Kegiatan ekonomi
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah.
Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh
pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah
cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih
rendah.
Sebenarnya ada 2 masalah utama dalam pembanguna
ekonomi nasional selama ini. Yang pertama adalah semua kegiatan ekonomi hanya
terpusat pada satu titik daerah saja, contohnya Jawa. Yang kedua adalah yang
sering disebut dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau
prosesnya lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti besarnya
sebagian input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari
daerah tersebut. Oleh karena itu, keteraitan produksi ke belakang yang sangat
lemah, sektor-sektor primer di daerah luar Jawa melakukan ekspor (X) tanpa
mengolahnya dahulu untuk mendapatkan NT. Hasil X pada umumnya hanya banyak
dinikmati di Jawa.
Jika keadaan ini terus dibiarkan maka, daerah di luar
pulau Jawa akan rugi dan semakin miskin saja, karena:
·
Daerah akan
kekurangan L yang terampil, K serta SDA yang dapat diolah untuk keperluan
sendiri.
·
Daerah akan
semakin sulit dalam mengembangkan sektor non primer khususnya industri
manufaktur, dan akan semakin sulit mengubah struktur ekonominya yang berbasis
pertanian atau pertambangan ke industri.
·
Tingkat
pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah sehingga pasar output semakin
lama, dan menyebabkan perkembangan investasi di daerah semakin kecil.
Ketimpangan dalam distribusi kegiatan ekonomi
antarwilayah Indonesia terlihat jelas dalam tidak meratanya pembagian kegiatan
industri manifaktur antar provinsi. Daerah Jawa didominasi oleh sektor-sektor
yang memiliki NT tinggi, khususnya industri manufaktur, sedangkan di luar Jawa
didominasi oleh sektor yang memiliki NT rendah, seperti pertanian. Karena
kepincangan struktur inilah terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi di
Indonesia. Dan industri di luar Jawa yang rendah disebabkan karena pasar lokal
yang kecil, infrastruktur yang terbatas, serta kurang SDM.
2.4.2.
Alokasi Investasi
Indikator lain juga yang menunjukkan pola serupa adalah distribusi
investasi (I) langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari
dalam negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar,
bahwa kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat
pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut menjadi rendah, karena
tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif, seperti industri
manufaktur.
Terpusatnya I di wilayah Jawa, disebabkan oleh banyak
faktor seperti kebijakan dan birokrasi yang terpusat selama ini (terutama
sebelum pelaksanaan otonomi daerah daerah), konsentrasi penduduk di Jawa dan
keterbatasan infrastruktur serta SDM di wilayah luar Jawa. Persebaran sumber daya
alam tidak selamanya melimpah. Ada beberapa sumber daya alam yang terbatas
dalam jumlahnya dan dalam proses pembentukannya membutuhkan jangka waktu yang
relatif lama. Sumber daya alam merupakan segala sesuatu yang tersedia di alam
dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Sumber daya alam secara umum dibagi
menjadi 2, yaitu: sumber daya alam yang dapat diperbarui dan sumber daya alam
yang tidak dapat diperbarui.
2.4.3.
Mobilitas antar Faktor Produksi yang
Rendah antar Daerah
Kehadiran buruh migran kelas bawah adalah pertanda semakin majunya suatu
negara. Ini berlaku baik bagi migran legal dan ilegal. Ketika sebuah negara
semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya naik ke posisi ekonomi lebih
tinggi (teori Marxist: naik kelas).
Fenomena “Move up the Ladder” ini dengan
sendirinya membawa kepada konsekuensi kosongnya lapisan terbawah. Walaupun
demikian lapisan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebenarnya lapisan ini
sangat substansial, karena menopang “ladders”
atau lapisan-lapisan yang berada di atasnya. Lapisan inilah yang diisi oleh
para migran kelas bawah. Salah satu pilar ekonomi liberal adalah kebebasan
mobilitas faktor produksi, termasuk faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi
administratif negara tidak menjadi penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap
saja perpindahan ini perlu ditinjau dan dikontrol agar tetap teratur.
2.4.4.
Perbedaan SDA antar Provinsi
Dasar pemikiran klasik mengatakan bahwa pembanguan ekonomi di daerah yang
kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan dengan
daerah yang miskin SDA. Sebenarnya samapai dengan tingkat tertebntu pendapat
ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA dianggap sebagai modal awal untuk
pembangunan. Namun, belum tentu juga daerah yang kaya akan SDA akan mempunyai
tingkat pembanguan ekonomi yang lebih tinggi juga jika tidak didukung oleh
teknologi yang ada (T).Penguasaan T dan peningkatan taraf SDM semakin penting,
maka sebenarnya 2 faktor ini lebih penting daripada SDA. Memang SDA akan
mendukung pembangunan dan perkembangan, tetapi akan percuma jika memiliki SDA
tapoi minim dengan T dan SDM.
Program desentralisasi dan otonomi daerah merupakan
pekerjaan besar dan harus berhasil dengan baik. Keragaman kemampuan dalam
pelaksanaannya harus didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan
bertahap menurut kemampuan daerah.
Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan
program desentralisasi yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai sebaliknya
malah akan mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan
pembangunan ekonomi daerah sendiri. Oleh karena itu, proses
desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah
pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan,
pada tingkat daerah, khususnya daerah Tingkat II. Hal ini merupakan kerja
nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan dilaksanakan terutama di
daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang merupakan kunci bagi
pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien.
Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan secara
seimbang perencanaan yang lebih teliti mengenai penggunaan sumber daya publik
dan sektor swasta: petani, pengusaha kecil, koperasi, pengusaha besar,
organisasi sosial harus mempunyai peran dalam proses perencanaan.
2.4.5.
Perbedaan Kondisi Demografis antar
Provinsi
Kondisi demografis antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada yang
disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh sektor pariwisata,
dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini biasanya menyebabkan
pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda.
Contoh kasusnya, kita tengok ke daerah Tegal. Penduduk
Kota Tegal pada tahun 2007 adalah 247,076 jiwa yang terdiri dari laki-laki
123.792 jiwa (50,10 %) dan perempuan 123,284 jiwa (49,90 %) dengan laju
pertumbuhan 0,55 % per tahun, sedangkan jumlah penduduk usia produktif (15-64
tahun ) 170.124 jiwa (68,86 %). Ternyata kepadatan penduduk rata – rata di
Kota Tegal pada tahun 2007 sebesar 6.193 jiwa/Km² dengan kepadatan penduduk
tertinggi di Kelurahan Kejambon sebesar 13.723 jiwa/Km² dan kepadatan terendah
di Kelurahan Muarareja sebesar 750 jiwa/Km². Jumlah penduduk usia kerja di Kota
Tegal tahun 2007 tercatat berjumlah 204.517 dengan jumlah angkatan kerja
sebesar 168.575 jiwa atau 82,43 % yang terdiri dari 87.537 jiwa laki-laki dan
81.038 jiwa perempuan. Dari jumlah tersebut 112.660 sudah bekerja dan 55.915
tidak bekerja. Mata pencaharian penduduk Kota Tegal menurut jenis mata
pencahariannya adalah petani sendiri 3.739 orang, buruh tani 6.457 orang,
nelayan 12.013 orang, pengusaha 2.303 orang, buruh industri 20.310 orang, buruh
bangunan 18.704 orang, pedagang 21.887 orang, pengangkutan 6.687 orang,
PNS/ABRI 9.223 orang, pensiunan 4.473 orang dan lain-lain 11.930 orang. Sektor
pendidikan merupakan salah satu prioritas utama kebijakan Pemerintah Kota
Tegal, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas
sumber daya manusia. Pembangunan sektor ini diarahkan kepada penyediaan sarana
dan prasarana serta memberikan kemudahan akses pendidikan kepada masyarakat. Kebijakan-kebijakan
strategis yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Tegal secara bertahap sejak
tahun 2000 sampai dengan saat ini untuk mendukung pembangunan sektor pendidikan
formal antara lain yaitu pembangunan sarana dan prasarana fisik, pemberian bea
siswa, pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat sekolah dasar dan lanjutan tingkat
I, penyediaan buku pelajaran serta peningkatan kualitas tenaga pengajar melalui
pelatihan dan penyetaraan kualifikasi pendidikan guru. Pada tahun 2007 tamatan
pendidikan untuk SD sebanyak 4.214 jiwa, SLTP 3.780 jiwa, dan SLTA 3.435 jiwa.
2.4.6.
Kurang Lancarnya Perdagangan antar
Provinsi
Kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan ketimpangan
ekonomi regional di Indonesia. Pada umumnya ketidaklancaran tersebut disebabkan
karena keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan antarprovinsi
meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, dan bahan baku untuk
keperluan produksi dan jasa. Ketidaklancaran perdagangan ini mempengaruhi
pembangunan dan pertumbuhan lewat sisi permintaan (Demand) dan sisi
penawaran (Supply). Dari sisi permintaan, kelangkaan akan barang dan
jasa akan berdampak juga pada permnitaan pasar terhadap kegiatan
eonomi lokal yang sifatnya komplementer dengan barang tersebut. Sedangkan dari
sisi penawaran, sulitnya memperoleh barang modal seperti mesin, dapat
menyebabkan kegiatan ekonomi di suatu provinsi menjadi lumpuh, selanjutnya
dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.
2.5.
Pembangunan
Indonesia
Bagian Timur
Hasil
pembangunan ekonomi nasional selama pemerintahan orde baru menunjukkan bahwa
walaupun secara nasional (pada tingkat makro) laju pertumbuhan ekonomi nasional
rata-rata per tahun tinggi, namun pada tingkat meso atau regional proses
pembangunan selama itu telah menimbulkan suatu ketidakseimbangan pembangunan yang
menyolok antara indonesia bagian barat (IBB) dan indonesia bagian timur (IBT).
Dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi dan sosial, IBT jauh tertinggal
dibanding IBB.
Implikasinya adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan
daerah tidaklah sekedar memberikan kompensasi alokasi finansial kepada propinsi
atau kawasan yang relatif tertinggal, akan tetapi justru lebih difokuskan untuk
dapat menumbuhkan sikap kemandirian dari masing-masing daerah tersebut untuk
dapat mengelola dan mengembangkan potensi sumberdaya yang dimiliki demi
kepentingan daerah yang bersangkutan pada khususnya maupun kepentingan nasional
pada umumnya.
Tahun
2001 merupakan tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah yang akan dilakukan
secara serentak di seluruh wilayah indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah
tersebut diharapkan dapat menjadi suatu langkah awal yang dapat mendorong
proses pembangunan ekonomi di IBT yang jauh lebih baik dibanding pada masa orde
baru. Hanya saja, seperti di kawasan lainnya di indonesia, keberhasilan
pembangunan ekonomi di IBT sangat ditentukan oleh kondisi internal yang ada,
yakni berupa sejumlah keunggulan atau kekuatan dan kelemahan yang dimiliki
wilayah tersebut.
Keunggulan
Wilayah Indonesia Bagian Timur
Keunggulan
atau kekuatan yang dimiliki IBT terutama adalah sebagai berikut.
§ Kekayaan
sumber daya alam (SDA).
§ Posisi
geografis yang strategis.
§ Potensi
lahan pertanian yang cukup luar
§ Potensi
sumber daya manusia (SDM).
Sebenarnya dengan
keunggulan-keunggulan yang dimiliki IBT tersebut di atas, kawasan ini sudah
lama harus menjadi suatu wilayah di indonesia di mana masyarakatnya makmur dan
memiliki sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor industri manufaktur
yang angat kuat. Namun, selama ini kekayaan tersebut di satu pihak tidak
digunakan secara optimal dan di pihak lain kekayaan tersebut di exploited oleh
“pihak luar” yang tidak memberi keuntungan ekonomi yang berarti bagi IBT itu
sendiri.
Kelemahan
Wilayah Indonesia Bagian Timur
Disamping
memiliki berbagai keunggulan di atas, IBT juga memiliki berbagai kelemahan yang
membutuhkan sejumlah tindakan pembenahan dan perbaikan. Kalau tidak,
kelemahan-kelemahan tersebut akan menciptakan ancaman bagi kelangsungan pembangunan
ekonomi di kawasan tersebut. Berbagai kelemahan dan kekurangan yang masih
dimiliki IBT diantaranya adalah sebagai berikut.
§ Kualitas
sumber daya manusia yang masih rendah.
§ Keterbatasan
sarana infrastruktur.
§ Kapasitas
kelembagaan pemerintah dan publik masih lemah.
§ Partisipasi
masyarakat dalam pembangunan masih rendah.
2.5.1.
Kendala dan
Tantangan Pembangunan
Kawasan Timur
Indonesia
Pemerintah juga menyadari bahwa kendala-kendala pembangunan seperti
kurangnya ketersediaan prasarana dan sarana dasar ekonomi, terbatasnya kualitas
dan kuantitas sumberdaya manusia serta kendala geografis yang relatif
terisolasi merupakan masalah utama bagi pengembangan KTI. Beberapa propinsi
yang lebih cepat berkembang memiliki jumlah dan kualitas prasarana dan sarana yang
relatif lebih baik dibandingkan propinsi lainnya, seperti Kalimantan Timur dan
Kalimantan Barat, serta Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Begitu pula dengan
jaringan transportasi, telekomunikasi, dan energi listrik, ketersediaan dan
kualitas pelayanannya di wilayah KTI masih harus ditingkatkan.
Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan berkurangnya
tingkat kesenjangan pembangunan antardaerah, khususnya antara wilayah KBI
dengan wilayah KTI, perlu diupayakan dukungan dari investasi pemerintah yang
lebih memadai pada wilayah-wilayah tertinggal. Dukungan investasi pemerintah
yang memadai tersebut perlu pula dibarengi dengan penciptaan dan perbaikan
iklim investasi yang pada gilirannya akan menunjang peran serta investasi dari
pihak swasta untuk dapat menanamkan modalnya pada wilayah-wilayah yang relatif
masih tertinggal tersebut. Disamping itu, mengingat luasnya wilayah dan
sulitnya kondisi alam, serta terbatasnya sumberdaya dan dana yang tersedia di
kawasan ini, pembangunan prasarana dan sarana tersebut perlu diprioritaskan
pada wilayah-wilayah yang telah dan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan.
Meskipun kita terbuka bagi penanaman modal dari
sektor manapun, namun pertimbangan aspek pemerataan perlu dijadikan landasan
pokok dalam strategi pengembangan ekonomi rakyat dan usaha nasional, yaitu
untuk menumbuhkan sikap dan jiwa wiraswasta serta keterampilan pengusaha daerah
setempat. Disamping itu pula, dirasakan perlu untuk meningkatkan kualitas
perencanaan.
Telah kita sadari bahwa salah satu kendala utama
pembangunan di wilayah KTI adalah masih kurangnya tenaga terampil dan terdidik
yang mencerminkan rendahnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia setempat.
Dilain pihak, daya tarik wilayah KBI lebih kuat terutama disebabkan oleh
kurangnya lapangan kerja yang tersedia untuk menyerap angkatan kerja yang ada.
2.5.2.
Kinerja Investasi Pembangunan Kawasan
Timur Indonesia
Pembangunan
ekonomi yang selama ini telah menghasilkan pertumbuhan yang tinggi ternyata
belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan kesenjangan antardaerah tersebut.
Perbedaan laju pembangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangan
kemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa, antara
kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, dan antara daerah
perkotaan dan daerah perdesaan.
Untuk mengurangi kesenjangan yang masih ditemui, investasi pemerintah
menjadi sarana yang penting untuk memacu pembangunan daerah yang tertinggal.
Sehubungan dengan itu dikembangkan kebijaksanaan alokasi investasi pemerintah
yang lebih besar ke kawasan di luar Jawa khususnya pada propinsi-propinsi di
kawasan timur Indonesia, untuk mendorong investasi swasta ke kawasan yang sama,
dan pertumbuhan ekspor nonmigas pada kawasan di luar Jawa.
Dalam Repelita VI propinsi-propinsi di KTI akan memperoleh kenaikan
pangsa investasi pemerintah dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% pada tahun
1998. Pada akhir PJP II, pangsa yang diperoleh propinsi-propinsi di wilayah KTI
diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 30%.
Kondisi yang sama diharapkan juga terjadi terhadap alokasi investasi
swasta kepada wilayah di luar Jawa, sehingga pangsa investasi pemerintah di
Jawa akan menurun dari 73,6% pada awal Repelita VI menjadi sekitar 71,7% pada
akhir Repelita VI, sedangkan pangsa wilayah KTI akan meningkat dari 11,4%
menjadi 12,6% selama periode yang sama.
Percepatan
pertumbuhan pembangunan wilayah yang relatif tertinggal tersebut juga akan
memberikan implikasi yang cukup nyata pada reorientasi ekspor nonmigas. Secara
rata-rata, ekspor diperkirakan akan tumbuh sekitar 16,8% per tahun selama kurun
waktu Repelita VI. Khusus untuk wilayah KTI, pertumbuhan ekspor nonmigasnya
diperkirakan akan sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.
Sesuai dengan komitmen pemerintah untuk memperbesar alokasi investasi
pemerintah di wilayah KTI, maka rencana alokasi pengeluaran rupiah murni
investasi pemerintah tahun anggaran 1996/97 untuk wilayah KTI adalah sebesar
Rp.6.486,5 miliar atau 29,4% dari total rencana alokasi investasi pemerintah
sebesar Rp.22.089,1 miliar. RAPBN tahun anggaran 1996/97 untuk wilayah KTI
menunjukkan adanya kenaikan sebesar 21,5% dibandingkan dengan alokasi APBN
tahun anggaran 1995/96 untuk wilayah yang sama, yang besarnya Rp.5.339,2
miliar. Kenaikan sebesar 21,5% tersebut relatif lebih besar bila dibandingkan
dengan kenaikan anggaran pemerintah baik yang diperoleh wilayah KBI yang hanya
sebesar 14,2% maupun kenaikan secara nasional yang besarnya 16,1%.
Dilihat dari distribusi regional investasi, dalam periode 1983-1990,
terlihat masih kecilnya investasi di KTI, baik investasi pemerintah (28,5%)
maupun investasi swasta (8,4%) meskipun ada kecenderungan peningkatan dari
periode sebelumnya, yaitu 23,9% untuk investasi pemerintah dan 7,7% untuk
investasi swasta. Dengan mengikuti skenario pembangunan regional yang telah
digariskan dalam Repelita VI diperlukan laju pertumbuhan investasi pemerintah
(DIP dan Inpres) yang lebih tinggi dari rata-rata nasional untuk semua daerah
tingkat I di luar Jawa. Implikasinya terhadap wilayah KTI akan memperoleh
kenaikan pangsa investasi pemerintah dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6%
pada tahun 1998. Pada akhir PJP II, pangsa yang diperoleh propinsi-propinsi di
wilayah KTI diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 30%.
Skenario percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah tertinggal juga
menunjukkan adanya reorientasi investasi swasta ke wilayah luar Jawa. Sebagai
hasilnya akan terlihat bahwa pangsa investasi swasta di Jawa akan menurun dari
73,6% pada awal Repelita VI menjadi sekitar 71,7% pada akhir Repelita VI,
sedangkan pangsa wilayah KTI akan meningkat dari 11,4% menjadi 12,6% selama
periode yang sama. Implikasi lainnya adalah pada reorientasi ekspor nonmigas.
Berdasarkan skenario pertumbuhan ekonomi makro nasional, kinerja pertumbuhan
ekspor akan masih bergantung pada propinsi-propinsi di Jawa. dengan adanya
reorientasi investasi pemerintah yang sekaligus diikuti dengan peningkatan
investasi swasta ke wilayah di luar Jawa, maka kinerja ekspor wilayah KTI
diperkirakan juga akan lebih tinggi dari rata-rata nasional, yaitu 12,7%.
Gambaran rencana alokasi investasi pembangunan yang dikemukakan di atas
sudah barang tentu masih perlu didukung oleh partisipasi investasi dari pihak
dunia usaha dan masyarakat, terutama dengan mempertimbangkan keterbatasan
kemampuan keuangan Pemerintah. Oleh sebab itu, upaya untuk menarik swasta dan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah menjadi sangat penting
untuk segera diwujudkan, melalui peningkatan peranan pemerintah daerah dalam
memberikan kemudahan dan dukungan serta iklim yang baik bagi investasi
masyarakat. Upaya tersebut harus seiring dengan peningkatan dan pemantapan
peran dan tugas aparat sesuai bidang masing-masing, sehingga mampu menjamin
terwujudnya optimisme dan rasa aman investor.
Untuk itu, berkaitan dengan upaya untuk menggalakkan dan mengkondisikan
iklim investasi di wilayah KTI tersebut, mulai tahun 1995 yang lalu DP-KTI
telah mempersiapkan rancangan kebijaksanaan penerapan insentif investasi di
wilayah KTI. Berdasarkan hasil rapat pleno DP-KTI, telah diidentifikasikan
beberapa kebijakan insentif investasi yang perlu diprioritaskan perwujudannya,
yaitu:
·
Pelaksanaan lebih cepat
pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). Pasal tersebut mencakup
insentif yang berkaitan dengan depresiasi dan amortisasi yang dipercepat,
kompensasi kerugian dan pengurangan pajak atas Bentuk Usaha Tetap. Percepatan
pelaksanaan pasal tersebut diatas meliputi: depresiasi dan amortisasi yang
dipercepat, komposisi kerugian maksimal 10 tahun, dan pengurangan pajak atas
Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari perusahaan asing di Indonesia dari 20% menjadi
5%. DP-KTI menyetujui usulan tersebut dan menyarankan agar penetapan Keputusan
Menteri Keuangan yang lebih operasional sebagai penjabaran dari Peraturan
Pemerintah yang sudah ada dan koordinasinya dilakukan Departemen Keuangan.
·
Insentif untuk subkontraktor
yang beroperasi di KTI. Selama ini insentif pajak hanya diberikan kepada
kontrak karya, sedangkan pengelolaan fasilitas penunjangnya dilakukan pihak
lain. Karena itu, bentuk-bentuk insentif kepada pihak ketiga yang terlibat
dalam kegiatan kontrak karya perlu dipikirkan. Untuk itu perlu dirumuskan juga
insentif bagi pengusaha-pengusaha sub-kontraktor di KTI.
·
Subsidi BBM untuk daerah
terpencil yang dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan pembangunan. Sebagai
salah satu wahana dalam meningkatkan pendapatan negara, disetujui subsidi untuk
daerah-daerah terpencil yang ditujukan untuk pemerataan pendapatan antardaerah.
Disarankan subsidi tidak saja melalui subsidi langsung BBM, akan tetapi upaya
peralihan dan pengembangan sumber energi alternatif lainnya yang dapat
menggantikan BBM, seperti listrik tenaga surya (PLTS). Dana subsidi tersebut
antara lain dapat diperoleh dengan menaikkan harga BBM per liter di Jawa
sebesar Rp10, Rp20 atau Rp30. Sebagai pelengkap terhadap kebijaksanaan insentif
BBM untuk KTI tersebut, disarankan agar pengembangan dana 1-5 % dari laba BUMN
dapat dipergunakan untuk membantu industri kecil, pengusaha ekonomi lemah, dan
koperasi dalam mengusahakan PLTS, yang selanjutnya dapat dibebaskan pembayaran
bunganya (melalui pengaturan khusus).
·
Pembentukan kantor perizinan
terpadu di Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II guna mempercepat proses
perizinan. Usulan tersebut dimaksudkan untuk mempercepat proses perijinan, baik
investasi maupun non-investasi di KTI. Pelaksanaan kegiatan ini dikordinasikan
oleh Departemen Dalam negeri.
·
Didirikan lembaga keuangan
baru yang memberi insentif kredit untuk koperasi di daerah transmigrasi.
Peraturan kredit pada Koperasi Primer untuk Para Anggota (KKPA) dalam rangka
PIR Transmigrasi di KTI perlu diberikan kekhususan, dimana pengusaha PIR
tersebut dapat dianggap sebagai Koperasi Primer, sehingga dapat memperoleh
fasilitas KKPA. Hal ini sedang dikerjakan oleh pihak Departemen Keuangan.
·
Selain itu, dalam rangka
mempercepat perwujudan penciptaan peluang dan iklim investasi yang kondusip,
saat ini tengah dipersiapkan rancangan Keputusan Presiden tentang Fasilitas
Perpajakan atas Penanaman Modal di Kawasan Timur Indonesia.
Untuk
lebih efektifnya penerapan kebijaksanaan fiskal tersebut, perlu dilakukan
kajian khusus terhadap jenis-jenis insentif investasi yang bisa diberikan
kepada investor di wilayah KTI. Untuk itu, DP-KTI telah membentuk Tim Perumus
Pemberian Insentif Investasi, yang bertugas untuk merumuskan jenisjenis
insentif investasi yang mungkin diberikan, baik insentif fiskal maupun
nonfiskal, dalam merangsang sektor dunia usaha menanamkan modalnya di KTI.
Dalam rangka mengupayakan peningkatan daya tarik investasi dunia usaha
khususnya ke wilayah KTI, selain perlu meningkatkan peran pemerintah daerah,
beberapa prasarana dasar investasi yang memadai perlu pula disediakan dengan
harga yang lebih terjangkau. Di samping itu, pemerintah akan mendorong
penyediaan informasi dan peluang usaha yang lebih baik untuk wilayah luar Pulau
Jawa, khususnya wilayah KTI, disertai kebijaksanaan fiskal dan moneter yang
lebih memperhatikan kepentingan dunia usaha dan investor swasta di kawasan
tersebut.
2.5.3.
Pemantapan Posisi KTI dalam Menghadapi
Era Perdagangan
Bebas
Dalam
kaitannya dengan kebijaksanaan dasar pembangunan kawasan timur Indonesia (KTI),
terutama untuk memantapkan keterkaitan (linkages) dengan ekonomi global dan
internasional, maka perlu diciptakan pusat-pusat pertumbuhan dan andalan di
kawasan timur Indonesia yang mempunyai keterkaitan ekonomi dengan pusat-pusat
pertumbuhan di luar negeri. Untuk itu, arahan penataan ruang yang telah
menetapkan pusat pertumbuhan tingkat nasional (National Development Center) di
kawasan timur Indonesia perlu dipertimbangkan sebagai pusat pertumbuhan
nasional yang potensial yang dikaitkan dengan pusat pertumbuhan lainnya di luar
negeri. Dengan mencoba memanfaatkan potensi beberapa pusat pertumbuhan yang
telah ada, maka perlu dikembangkan kawasan pusat pertumbuhan di KTI seperti:
·
Pemantapan keterkaitan antar
pusat pertumbuhan Kupang sebagai National Development Center (NDC) dengan
Australia utara (Darwin-- Nothern Territory).
·
Pemantapan keterkaitan
ekonomi antara pusat pertumbuhan Manado (NDC) dengan Filipina Selatan (Davao, Mindanao)
dan Sabah (Serawak) melalui penciptaan Northern Growth Triangle di KTI.
·
Pemantapan keterkaitan
antara pusat pertumbuhan nasional di Pontianak (NDC) dengan kawasan segitiga
pertumbuhan SIJORI, yang dalam tahap awal dapat menciptakan keterkaitan antara
pusat dan daerah belakangnya dan secara bertahap dapat ditingkatkan menjadi
pusat yang sejajar tingkatnya.
·
Pemantapan kawasan
pertumbuhan antara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, The Philippines --
East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA).
Seperti kita
ketahui bersama bahwa kebijaksanaan pemerintah untuk memacu pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya perlu diupayakan di seluruh tanah air, terutama
di kawasan timur Indonesia perlu ditingkatkan sebagai perwujudan Wawasan
Nusantara. Untuk keperluan tersebut pemerintah telah mengalokasikan anggaran
untuk mengupayakan peningkatan daya tarik investasi swasta ke wilayah KTI,
selain berbagai prasarana dasar yang memadai perlu disediakan pemerintah, juga
penyediaan informasi dan peluang usaha yang seimbang dengan yang diperoleh para
investor di wilayah KBI. Berkaitan dengan tingginya biaya investasi di kawasan
timur Indonesia perlu diimbangi dengan penurunan suku bunga dan fasilitas
(kemudahan) lainnya, seperti "Tax Holiday". Kebijaksanaan fiskal dan
moneter yang telah memperhatikan kepentingan para pengusaha (investor) di KTI,
melalui kebijaksanaan khusus yang diarahkan kepada pemberian kemudahan
investasi perlu segera ditetapkan. Sejalan dengan itu dukungan pelayanan sistem
transportasi (laut dan udara) yang efisien merupakan prasyarat untuk mengundang
investasi swasta ke KTI.
Dengan mempertimbangkan beberapa permasalahan, potensi dan prospek
pengembangan KTI tersebut, dapat disimpulkan beberapa upaya yang perlu
dilakukan dalam rangka percepatan pembangunan KTI melalui: (i) peningkatan
dukungan investasi pemerintah terhadap wilayah yang tertinggal, yang sekaligus
menciptakan dan memperbaiki iklim investasi untuk menarik modal swasta; (ii)
perwujudan keterkaitan fisik dan ekonomi antarwilayah, termasuk pada kawasan
cepat tumbuh, kawasan perbatasan antarnegara dan kawasan andalan; (iii)
pengembangan kota-kota prioritas sebagai pusat-pusat ekonomi perkotaan dalam
kawasan andalan sebagai suatu kesatuan struktur wilayah, seperti pusat
pertumbuhan wilayah nasional di Ujung Pandang, Menado, Pontianak, Banjarmasin,
dan pusat pertumbuhan antarwilayah di Balikpapan, Samarinda, Mataram, dan Dili;
serta (iv) pembentukan pusat-pusat pertumbuhan dan kawasan andalan di KTI yang
mempunyai keterkaitan ekonomi dengan pusat-pusat pertumbuhan di luar negeri,
seperti Kupang-Darwin dan BIMP-EAGA.
Beberapa langkah kebijaksanaan di atas, perlu dibarengi dengan upaya
untuk meningkatkan kinerja dan kemampuan dari pemerintah daerah tingkat I dan
tingkat II se-KTI dalam rangka lebih berperanserta aktif dalam pembangunan di
daerahnya masing-masing. Sejalan itu, upaya untuk lebih mendesentralisasikan
wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
sangat tergantung dari kesiapan dan kemampuan pemerintah daerah masing-masing,
sekaligus dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian,
penjabaran kebijaksanaan dan program pembangunan KTI tidak lagi ditentukan oleh
pemerintah pusat, namun lebih ditentukan oleh pemerintah daerah yang
bersangkutan, guna dapat menjamin keberlanjutannya.
2.6.
Teori dan Analisis Pembangunan
Ekonomi Daerah
2.6.1.
Teori Pembangunan Ekonomi Daerah
A.
Teori Basis Ekonomi
Teori ini berdasarkan pada ekspor barang (komoditas). Sasaran pengembangan
teori ini adalah peningkatan laju pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan
peningkatan pendapatan. Proses pengembangan kawasan adalah merespon permintaan
luar negeri atau dalam negeri atau di luar nodalitas serta multiplier effect (
Geltner, 2005).
Teori ini hanya mampu memprediksi jangka pendek dan
tidak mampu merespon perubahan jangka panjang. Hanya menekankan perlunya
mengembangkan sektor industri non basis, tidak mengenal bahwa ekonomi regional
adalah mengintegrasikan seluruh aktivitas ekonomi yang saling mendukung.
Penerapan pengembangan industri ini berorientasi ekspor dan subtitusi impor,
promosi dan pengerahan industri, peningkatan efisiensi ekonomi ekspor melalui
perbaikan infrastruktur Oleh karena itu, dibutuhkan integrasi antara
jenis industri, prasarana, dan perluasan industri. Dapat disusun hipotesa
selain lokasi juga peranan sektoral serta LQ ( Location Qoutient) sektor
konstruksi perumahan realestat dalam satu kawasan.
B.
Teori Lokasi
Teori lokasi adalah suatu teori yang dikembangkan untuk memperhitungkan
pola lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi termasuk di dalamnya kegiatan industri
dengan cara yang konsisten. Lokasi dalam ruang dibedakan menjadi dua yaitu:
·
Lokasi absolut.
Lokasi absolut adalah lokasi yang berkenaan dengan
posisi menurut koordinat garis lintang dan garis bujur (letak astronomis).
Lokasi absolut suatu tempat dapat diamati pada peta (kelihatan).
·
Lokasi relatif.
Lokasi relatif adalah lokasi suatu tempat yang
bersangkutan terhadap kondisi wilayah-wilayah lain yang ada di sekitarnya.
Dari sekian banyak teori lokasi, pada prinsipnya sama,
yaitu membicarakan bagaimana menentukan lokasi industri. Teori lokasi yang
dikemukakan oleh Alfred Weber berawal dari tulisannya yang berjudul Uber den
Standort der Industrien pada tahun 1909. Prinsip teori Weber adalah: “Penentuan
lokasi industri ditempatkan di tempat-tempat yang resiko biaya atau ongkosnya
paling murah atau minimal (least cost location)“. Asumsi Weber yang
bersifat prakondisi adalah sebagai berikut:
·
Wilayah yang
seragam dalam hal topografi, iklim dan penduduknya. Keadaan penduduk yang
dimaksud adalah menyangkut jumlah dan kualitasnya.
·
Ketersediaan
sunber daya bahan mentah. Invetarisasi sumber daya bahan mentah sangat
diperlukan dalam industri.
·
Persaingan antar
kegiatan industri.
·
Upah tenaga
kerja. Upah atau gaji bersifat mutlak harus ada dalam industri yakni untuk
membayar para tenaga kerja.
·
Biaya
pengangkutan (ongkos angkut) bahan baku ke lokasi pabrik yang ditentukan oleh
bobot bahan baku dan lokasi bahan baku.
Manusia berpikir rasional.
Weber menyusun model yang dikenal dengan sebutan segitiga lokasional
(locational triangle). Menurut Weber, untuk menentukan lokasi industri terdapat
tiga faktor penentu, yaitu:
·
Material
·
Konsumsi.
·
Tenaga Kerja.
Biaya transportasi menurut Weber tergantung dari dua hal pokok yaitu bobot
barang dan jarak yang harus ditempuh untuk mengangkutnya.
Selain teori dari Weber, dalam pembahasan ini juga
akan dibahas teori tempat pusat (Central
Place Theory) dari Walter
Christaller (1933). Christaller pertama kali mempublikasikan studinya yang
berkaitan dengan masalah tentang bagaimana menentukan jumlah, ukuran dan pola
penyebaran kota-kota. Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Christaller adalah
sebagai berikut:
·
Suatu lokasi
yang memiliki permukaan datar yang seragam.
·
Lokasi tersebut
memiliki jumlah penduduk yang merata.
·
Lokasi tersebut
mempunyai kesempatan transpor dan komunikasi yang merata.
·
Jumlah penduduk
yang ada membutuhkan barang dan jasa.
Prinsip yang dikemukakan oleh Christaller adalah:
·
Range adalah
jarak jangkauan antara penduduk dan tempat aktivitas pasar yang menjual
kebutuhan komoditi atau barang. Jika jarak ke pasar lebih jauh dari kemampuan
jangkauan penduduk yang bersangkutan, maka penduduk cenderung akan mencari
barang dan jasa ke pasar lain yang lebih dekat.
·
Threshold adalah
jumlah minimum penduduk atau konsumen yang dibutuhkan untuk menunjang
kesinambungan pemasokan barang atau jasa yang bersangkutan, yang diperlukan
dalam penyebaran penduduk atau konsumen dalam ruang (spatial population
distribution).
Dari komponen range dan threshold maka lahir prinsip optimalisasi pasar
(market optimizing principle). Prinsip ini antara lain menyebutkan bahwa
dengan memenuhi asumsi di atas, dalam suatu wilayah akan terbentuk wilayah
pusat (central place). Pusat tersebut menyajikan kebutuhan barang dan
jasa bagi penduduk sekitarnya. Jika sebuah pusat dalam range dan threshold yang
membentuk lingkaran, bertemu dengan pusat yang lain yang juga memiliki range
dan threshold tertentu, maka akan terjadi daerah yang bertampalan. Penduduk
yang bertempat tinggal di daerah yang bertampalan akan memiliki kesempatan yang
relatif sama untuk pergi kedua pusat pasar itu.
C.
Teori Daya Tarik Industri
Teori daya tarik industri adalah model pembangunan ekonomi yang paling
banyak digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang mendasarinya adalah bahwa
suatu masyarakat dapat memperbaiki posisi pasarnya terhadap industri melalui
pemberian subsidi dan insentif.
Faktor-faktor daya tarik industri adalah:
1. NT tinggi per pekerja.
Ini berarti industri tersebut memiliki sumbangan yang
penting, tak hanya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat tapi juga pada
pembentukan PDRB.
2. Industri-industri ikatan.
Ini berarti perkembangan industri-industri tersebut
akak menigkatkan total NT daerah, atau mengurangi ‘kebocoran ekonomi’ dan
ketergantungan impor.
3. Daya saing di masa depan.
Hal ini sangat menentukan prospek dari pengembangan
industri yang bersangkutan, agar ke depannya pasar memiliki kekuatan untuk
bersaing. Meningkatkan daya saing adalah dengan meningkatkan persaingan itu
sendiri. Ini berarti perlakuan-perlakukan khusus harus ditinggalkan. Proteksi
perlu ditiadakan segera ataupun bertahap. Pengembangan produk yang sukses
adalah yang berorientasi pasar, ini berarti pemerintah daerah perlu mendorong
pengusaha untuk selalu meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis. Peraturan
perdagangan internasional harus diperkenalkan dan diterapkan. Perlu ada upaya
perencanaan agar setiap pejabat pemerinah daerah mengerti peraturan-peraturan
perdagangan internasional ini, untuk dapat mendorong pengusaha-pengusaha daerah
menjadi pemain-pemain yang tangguh dalam perdagangan bebas, baik pada lingkup
daerah, nasional maupun internasional.
4. Spesialisasi industri.
Suatu daerah sebaiknya berspesialisasi di mana daerah
tersebut unggul (teori klasik perdagangan internasional), dan dengan demikian
daerah tersebut akan menikmati keuntungan dari perdagangan.
BAB III
Penutup
3.1.
Kesimpulan
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan
masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola
kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu
lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan
ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses,
yaitu proses yang mencakup pembentukan-pembentukan institusi baru, pembangunan
industri-industri alternatif, perbaikam kapasitas tenaga kerja yang ada untuk
menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru,
dan pengembangan perusahaan-perusahan baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk
meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Beberapa
upaya yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah beserta masyarakatnya, yaitu :
·
Penyebaran
Pembangunan Prasarana Perhubungan
Kebijakan
dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan adalah dengan
memperlancar mobilitas barang dan faktor produksi antardaerah.
·
Mendorong
Transmigrasi dan Migrasi
Melalui
proses transmigrasi dan migrasi, kekurangan tenaga kerja yang dialami oleh
daerah terbelakang akan dapat diatasi sehingga proses pembangunan ekonomi
daerah yang bersangkutan akan dapat pula digerakkan.
·
Pengembangan
Pendidikan Antarwilayah
Pengembangan
pendidikan dapat medorong peningkatan keterampilan tenaga kerja selanjutnya
akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Disamping itu, melalui
pengembangan pendidikan akan dapat pula didorong proses inovasi dan perbedaan
teknologi produksi yang selanjutnya akan mendorong perbaikan tingkat efisiensi
usaha.
Pengembangan
pendidikan pada daerah yang relatif terbelakang diperkirakan merupakan
kebijakan yang cukup penting untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah.
·
Pengembangan Pusat Pertumbuhan
Kebijakan ini diperkirakan akan dapat mengurangi
ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah karena pusat pertumbuhan tersebut
menganut konsep Konsentrasi dan Desentralisasi secara sekaligus. Aspek
konsentrasi diperlukan agar penyebaran kegiatan ekonomi dapat dilakukan dengan
masih mempertahankan tingkat efisiensi usaha yang sangat diperlukan untuk
pengembangan usaha. Sedangkan aspek desentralisasi diperlukan agar penyebaran
kegiatan pembangunan antardaerah dapat dilakukan sehingga ketimpangan
pembangunan antaarwilayah akan dapat dikurangi. Penerapan konsep pusat
pertumbuhan ini untuk mendorong proses pembangunan daerah dan sekaligus untuk
dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah dapat dilakukan melaui
pembangunan pusat – pusat pertumbuhan pada kota – kota skala kecil dan menengah.
·
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dengan
dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, maka aktivitas
pembangunan ekonomi daerah, termasuk daerah terbelakang dapat lebih
digerakkan karena adanya wewenang yang ada pada pemerintah daerah dan
masyarakat setempat.
Bila hal ini
dapat dilakukan, makan proses pembangunan ekonomi daerah secara keseluruhan
akan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan
antarwilayah akan dapat pula dikurangi.
Melalui
kebijakan. Pemerintah dapat memberikan kewenangan yang lebih besar dalam
mengelola kegiatan pembangunan didaerah masing – masing ( desentralisasi
pembangunan ). Sejalan dengan ini, masing – masing daerah juga diberikan
tambahan alokasi dana yang diberikan dalam bentuk “Block Grant” berupa dana
perimbangan yang terdiri dari “Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam”,
Dana Alokasi Umum ( DAU ), Dana Alokasi Khusus ( DAK ). Diharapkan pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan akan dapat berjalan dengan baik,
sehingga proses pembangunan ekonomi daerah dapat lebih ditingkatkan dan
ktimpangan pembangunan antarwilayah akan dapat pula dikurangi.
3.2.
Saran
Dari kesimpulan
yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:
·
Pemerintahan daerah dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu
memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah,
potensi dan keanekaragaman daerah.
·
Konsep otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi
pada tingkat daerah yang paling dekat dengan masyarakat.
·
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan
terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Kesempatan yang
seluas-luasnya perlu diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan
mengambil peran. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas
kebijakan dan tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu
bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan pelaksanaan
Otonomi Daerah.
Pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya membuang jauh-jauh
egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya dan lebih
mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak
bertindak egois dan melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik.
Sumber :
https://tugaskuliahunj.wordpress.com/2014/03/16/makalah-pkn-otonomi-daerah/
http://suprayoga.tripod.com/CIDESKTI.html
Sukirno, Sadono. 2006. Makroekonomi Teori
Pengantar. Jakarta: PT Raja GrafIndustrido Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar